Dasar Dasar Pembelajaran Matetatika
Dasar Dasar Pembelajaran MTK
Teori Belajar
1. Jean Piaget
Teori Belajar
1. Jean Piaget
Skema istilah skema
atau skemata yang diberikan oleh Piaget untuk dapat menjelaskan mengapa
seseorang memberikan respon terhadap suatu stimulus dan untuk menjelaskan
banyak hal yang berhubungan dengan ingatan.
Skema adalah struktur kognitif yang digunakan oleh
manusia untuk mengadaptasi diri terhadap lingkungan dan menata lingkungan ini
secara intelektual.
Adaptasi merupakan cara anak untuk
memperlakukan informasi baru dengan mempertimbangkan apa yang telah mereka
ketahui. Adaptasi ini dilakukan dengan dua langkah, yaitu:
a. Asimilasi
Merupakan istilah yang digunakan Piaget untuk merujuk
pada peleburan informasi baru kedalam struktur kognitif yang sudah ada. Seorang
individu dikatakan melakukan proses adaptasi melalui asimilasi, jika individu
tersebut menggabungkan informasi baru yag dia terima kedalam pengetahuan mereka
yang telah ada.
Contoh : eorang anak yang diperlihatkan segi tiga sama
sisi, kemudian setelah itu diperlihatkan segitiga yang lain yaitu siku-siku.
Asimilasi terjadi jika si anak menjawab bahwa segitiga siku-siku yang
diperlihatkan adalah segitiga sama sisi.
b. Akomodasi
Merupakan istilah yang digunakan Piaget untuk merujuk
pada perubahan yang terjadi pada sebuah struktur kognitif dalam rangka
menampung informasi baru. Jadi, dikatakan akomodasi jika individu menyesuaikan
diri dengan informasi baru. Melalui akomodasi ini, struktur kognitif yang sudah
ada dalam diri seseorang mengalami perubahan sesuai dengan rangsangan-rangsangan
dari objeknya.
Contoh: si anak bisa menjawab segitiga siku-siku pada
segitiga yang diperlihatkan kedua.
c. Ekuilibrasi
Yaitu istilah yang merujuk pada kecenderungan untuk
mencari keseimbangan pada elemen-elemen kognisi. Ekuilibrasi diartikan sebagai
kemampuan yang mengatur dalam diri individu agar ia mampu mempertahankan
keseimbangan dan menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Agar terjadi
ekuilibrasi antara diri dengan lingkungan, maka peristiwa asimilasi dan
akomodasi harus terjadi secara terpadu, bersama-sama dan komplementer.
Contoh: bayi yang biasanya mendapat susu dari payudara
ibu ataupun botol, kemudian diberi susu dengan gelas tertutup (untuk latihan
minum dari gelas). Ketika bayi menemukan bahwa menyedot air gelas membutuhkan
gerakan mulut dan lidah yang berbeda dari yang biasa dilakukannya saat menyusu
dari ibunya, maka si bayi akan mengakomodasi hal itu dengan akomodasi skema
lama. Dengan melakukan hal itu, maka si bayi telah melakukan adaptasi terhadap
skema menghisap yang ia miliki dalam situasi baru yaitu gelas. Dengan demikian
asimilasi dan akomodasi bekerjasama untuk menghasilkan ekuilibrium dan
pertumbuhan.
2.
Vygotsky
Berkaitan
dengan perkembangan intelektual siswa, Vygotsky mengemukakan dua ide; Pertama,
bahwa perkembangan intelektual siswa dapat dipahami hanya dalam konteks budaya
dan sejarah pengalaman siswa (van der Veer dan Valsiner dalam Slavin, 2000), Kedua,
Vygotsky mempercayai bahwa perkembangan intelektual bergantung pada sistem
tanda (sign system) setiap individu selalu berkembang (Ratner dalam Slavin,
2000: 43). Sistem tanda adalah simbol-simbol yang secara budaya diciptakan
untuk membantu seseorang berpikir, berkomunikasi, dan
memecahkan masalah, misalnya budaya bahasa, system tulisan, dan sistem
perhitungan.
Ada
dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal
Development (ZPD) dan scaffolding.
a.
Zone of Proximal
Development (ZPD)
Merupakan jarak antara
tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang
didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang
dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.
b.
Scaffolding
Merupakan pemberian
sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian
mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung
jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1997). Scaffolding
merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan
masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan,
menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan
tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
Model
pembelajaran REACT adalah model pembelajaran yang dapat membantu guru
untuk menanamkan konsep pada siswa. Siswa diajak menemukan sendiri konsep yang
dipelajarinya, bekerja sama, menerapkan konsep tersebut dalam kehidupan
sehari-hari dan mentransfer dalam kondisi baru (Sri Rahayu dalam Yuliati,
2008:60).
Berdasarkan hasil penelitian, model REACT
efektif meningkatkan kemampuan dan hasil belajar siswa. Hal didasarkan pada 5
kriteria yang menyatakan efektivitas model REACT. Kriteria efektivitas
model REACT tersebut adalah:
- Siswa dapat mentransfer pengetahuan yang diperoleh di
sekolah dalam kehidupan sehari-hari dan dunia kerja
- Siswa tidak takut pada mata pelajaran matematika dan
IPA (fisika, kimia, dan biologi)
- Siswa lebih tertarik dan termotivasi serta memiliki
pemahaman yang lebih baik pada materi yang diajarkan di sekolah karena
pembelajaran dilaksanakan dengan mengaktifkan siswa secara fisik dan
mental
- Materi ajar yang diajarkan di sekolah memiliki
koherensi dengan pendidikan yang lebih tinggi (perguruan tinggi)
- Hasil belajar siswa yang diperoleh dengan REACT lebih
baik daripada pembelajaran tradisional.
Model pembelajaran REACT merupakan
pengembangan pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual merupakan
terjemahan dari Contextual Teaching and Learning (CTL). Pembelajaran
kontekstual secara resmi diperkenalkan di Indonesia pada awal tahun 2001. Pada
tahun 2002 dilakukan uji coba di 31 SLTP/MTs yang tersebar di enam provinsi.
Dari hasil uji coba terindikasi pembelajaran kontekstual mampu meningkatkan
interaksi belajar di kelas, membuat siswa lebih termotivasi dalam belajar dan
siswa lebih bisa berpikir kritis. Oleh karena itu telah diambil kebijakan untuk
meluaskan penerapan pembelajaran kontekstual di seluruh Indonesia.
Langkah-langkah model pembelajaran REACT
tercermin dari akronimnya. Langkah-langkah tersebut adalah Relating, Experiencing,
Applying, Cooperating, dan Transferring. Sintaks
Pelaksanaan Model REACT ditunjukkan pada Tabel berikut
Tabel Sintaks
Pelaksanaan Model REACT
Fase-Fase
|
Kegiatan
|
Relating
|
Guru menghubungkan konsep yang
dipelajari dengan materi pengetahuan yang dimiliki siswa
|
Experiencing
|
Siswa melakukan kegiatan
eksperimen (hands-on activity) dan guru memberikan penjelasan untuk
mengarahkan siswa menemukan pengetahuan baru
|
Applying
|
Siswa menerapkan pengetahuan yang
dipelajari dalam kehidupan sehari-hari
|
Cooperating
|
Siswa melakukan diskusi kelompok
untuk memecahkan permasalahan dan mengembangkan kemampuan berkolaborasi
dengan teman
|
Transfering
|
Siswa menunjukkan kemampuan
terhadap pengetahuan yang dipelajarinya dan menerapkannya dalam situasi dan
konteks baru
|
·
Relating
Belajar
berdasarkan pengalaman dalam kehidupan sehari-hari dan menghubungkannya dengan
pembelajaran di sekolah merupakan salah satu karakteristik pembelajaran
kontekstual. Sebagai pengembang REACT, CORD menyatakan bahwa relating
adalah bentuk belajar yang menghubungkan konsep yang dipelajarai dengan
materi pengetahuan yang dimiliki siswa dalam konteks kehidupan nyata atau
pengalaman nyata. Pembelajaran menjadi sarana untuk menghubungkan situasi
sehari-hari dengan informasi baru yang dipelajari.
·
Experiencing
Experiencing, yaitu belajar melalui kegiatan exploration, discovery,
dan invention, merupakan hal yang utama dalam pembelajaran kontekstual.
Siswa dimotivasi dengan menggunakan berbagai metode dan media pembelajaran.
Proses belajar akan terjadi jika siswa dapat menggunakan alat dan bahan serta
bentuk media lainnya dalam pembelajaran aktif (active learning)
·
Applying
Penerapan
konsep dan informasi dalam konteks bermakna diperlukan siswa dalam kehidupan
sehari-hari dan dunia kerja. Pada pembelajaran kontekstual, penerapan konsep
dilakukan pada kegiatan yang bersifat skill. Siswa tidak sekedar
mempelajari suatu teori-teori tertentu saja, melainkan siswa juga dituntun
untuk dapat menerapkan konsep-konsep yang sudah dipelajarinya ke dalam konteks
pemanfaatannya dalam kehidupan nyata.
·
Cooperating
Cooperating, yaitu belajar untuk berbagi pengalaman, memberikan tanggapan
dan berkomunikasi dengan siswa lain, merupakan strategi pembelajaran dasar
dalam pembelajaran kontekstual. Pengalaman bekerja sama tidak hanya membantu
siswa belajar materi ajar, tetapi juga membantu siswa untuk selalu konsisten
dengan kehidupan nyata. Kegiatan praktikum merupakan kegiatan yang esensial
yang mengembangkan kemampuan bekerjasama. Siswa bekerja dengan siswa lain untuk
melakukan kegiatan praktikum. Jumlah siswa yang tergabung dalam kelompok
tersebut biasanya terdiri dari 3-4 siswa. Keberhasilan kegiatan praktikum
dengan berkelompok membutuhkan pembagian tugas, observasi, kesempatan
mengemukakan pendapat, dan diskuis. Oleh karena itu, kualitas kerja praktikum
yang dilaksanakan secara berkelompok bergantung pada aktivitas dan performansi
anggota kelompok. Siswa harus dapat bekerja sama baik dalam kelompok kecil
maupun kelompok besar. Bekerja berpasangan atau kelompok kecil (3-4 orang)
merupakan strategi yang efektif untuk mendorong siswa bekerja sama dalam tim.
·
Transferring
Transferring pengetahuan dilakukan siswa berdasarkan pengetahuan yang
telah dimilikinya. Guru dapat mengembangkan rasa percaya diri siswa dengan
membangun pengalaman belajar baru berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang
telah dimiliki siswa. Transferring bisa diwujudkan dalam bentuk
pemecahan masalah dalam konteks dan situasi baru tetapi masih terkait dengan
materi yang dibahas.
Komentar
Posting Komentar